Sudah sepekan anak-anak yang mengaji di masjid Nurul Iman tidak ada yang
mengurus. Anak-anak hanya berlarian ke sana ke mari. Sudah lima hari ini tidak
satu pun ada guru mengaji yang mengajar di sana.
Meskipun anak-anak yang mengaji dikenai infak bulanan. Namun, hasilnya sangat
tidak memadai untuk honor guru mengaji yang mengajar. Itu sebabnya setiap bulan
Tarmidzi terpaksa minta subsidi dari kas masjid. Namun, yang dilakukan Tarmidzi
menimbulkan masalah.
Sudah beberapa bulan ini, Neneng - istri Tarmidzi - mendengar kabar yang tidak
menyenangkan tentang suaminya, bahwa Tarmidzi mau berkiprah di masjid yang
belum sepenuhnya jadi karena ingin menangguk keuntungan dari sana.
Untuk mengklarifikasi masalah itu, Tarmidzi minta kepada ketua pengurus masjid
untuk mengumpulkan semua pengurus, tokoh masyarakat, serta para ketua RT.
Lelaki berkacamata minus itu ingin menjelaskan kenapa setiap bulan dirinya
terpaksa meminta subsidi dari uang kas masjid. Kenapa pula tenaga pengajar
anak-anak di masjid itu sering berganti. Tarmidzi tidak ingin apa yang
dilakukannya selama ini justru menimbulkan fitnah.
"Itu sebabnya saya terpaksa harus ganti-ganti guru ngaji. Karena, jika mereka
mendapat pekerjaan dapat dipastikan akan mengundurkan diri," kata Tarmidzi
setelah memaparkan panjang lebar tentang keadaan anak-anak yang mengaji di
masjid.
"Sebetulnya honor guru ngaji di sini tak lebih dari sekedar ucapan terimakasih.
Sebab, andaikata setiap guru ngaji datang ke sini dengan menggunakan kendaraan
umum, honor itu tidak cukup untuk biaya transport. Hanya saja, karena belum
berkeluarga, mereka tidak pernah mempersoalkan honor yang mereka terima,"
lanjut Tarmidzi.
"Oh, jadi guru ngaji sekarang sudah kenal duit?" celetuk Zulfar. "Soalnya di
kampung saya dulu, asal ada lampu sentir, anak-anak sudah bisa mengaji," tambah
Zulfar, "Karena dulu orang mengajar ngaji nawaitunya lillahi ta'ala."
Tiba-tiba pertemuan itu menjadi kaku. Semua orang terlihat tegang setelah
mendengar lontaran kalimat ketua RW itu. Tarmidzi yang paling tegang.
Telinganya terasa panas mendengar ucapan Zulfar. Karena merasa dipojokkan,
Tarmidzi marah. Ingin rasanya ia menghajar mulut suami Irawati itu.
Untuk menetralisir kemarahannya, Tarmidzi istighfar dalam batin. "Bagi orang
yang tidak pernah mengaji atau orang bakhil, nawaitu lillahi ta'ala sengaja
disalahtafsirkan. Sebab, dengan cara menyimpangkan makna lillahi ta'ala, orang
bisa seenaknya memperlakukan guru ngaji. Guru agama pun khawatir dianggap tidak
ikhlas apabila menuntut hak yang layak. Padahal mereka tetap mempunyai
kewajiban yang sama dengan orang lain. Memberi nafkah, menyediakan perumahan,
menyekolahkan anaknya, membayar cicilan rumah, dan lain-lain," ujar Tarmidzi
setelah berhasil meredam kekesalannya.
"Anak seorang dai tetap perlu membayar uang sekolah dan membeli keperluan
sekolah. Istri seorang muballigh bila membeli beras maupun sayuran tidak hanya
separuh harga. Rumah seorang kyai, ajengan, atau seh tetap membayar rekening
listrik kepada PLN. Jika menggunakan pesawat telepon juga tidak gratis. Nah,
barangkali Pak RW bisa mencari guru mengaji yang tidak mempunyai kewajiban
seperti itu."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Tarmidzi, orang-orang yang ada di
tempat itu tercenung. Sebelum orang lain bicara lagi. Tarmidzi kembali buka
suara, "Mulai sekarang saya kembalikan kepercayaan bapak-bapak kepada saya
untuk mengurus anak yang mengaji di sini. Barangkali Pak Zulfar bisa mencari
guru ngaji yang tidak perlu membayar cicilan rumah, atau ustad yang istrinya
kalau belanja hanya separuh harga, dan anak-anaknya bisa digratiskan
sekolahnya. Dengan demikian, kas masjid tidak akan berkurang untuk membayar
honor guru ngaji."
Tarmidzi menyerahkan berkas-berkas kepada Baharudin, ketua pengurus masjid.
Baharudin sama sekali tidak bertanya kenapa berkas-berkas itu diserahkan lelaki
yang duduk di sebelahnya. Tarmidzi lantas pulang. Ia tak ingin berlama-lama
duduk di sana. Tarmidzi ingin menghindari mujadalah dengan orang-orang di
masjid.
Esoknya tak ada guru mengaji yang datang ke masjid. Anak-anak menjadi tak
terurus. Mereka hanya berlarian ke sana kemari di dalam masjid, dan membuat
orang-orang yang ada di sana jengkel. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres,
Baharudin mendatangi Tarmidzi. Minta kesediaannya untuk kembali menjadi
pengurus masjid, dan bersedia menghubungi tenaga pengajar ngaji lagi. Namun,
Tarmidzi terlanjur kecewa.
"Lebih baik Pak Bahar cari pengganti saya atau bereskan dulu pembangunan fisik
masjid. Masjid kan masih banyak butuh biaya. Kalau pengajian anak-anak
dihidupkan lagi justru akan mengurangi kas masjid. Uang yang seharusnya untuk
beli semen atau pasir akan terpakai untuk honor guru ngaji," ujar Tarmidzi.
"Tapi...."
"Atau begini saja, Pak," potong Tarmidzi, "Nanti kalau ekonomi saya sudah
mapan, saya sudah jadi orang kaya, saya bersedia diserahi seksi pendidikan
anak-anak. Dengan demikian saya tak akan membebani kas masjid untuk honor
pengajar."
"Apakah Pak Tarmidzi tidak...."
"Ini keputusan saya, Pak," untuk kedua kalinya Tarmidzi memotong kalimat
Baharudin, "Saya akan berkiprah lagi di masjid jika ekonomi saya sudah mapan.
Kalau tidak, lebih baik saya jadi jamaah saja, Pak."
Malam itu, rumah Baharudin dipenuhi tokoh masyarakat. Mereka tengah
membicarakan nasib anak-anak di masjid Nurul Iman. Sudah sepekan anak-anak tak
ada yang mengurus. Anak-anak hanya berlarian ke sana, karena tak ada guru
mengaji yang datang.
"Kalau masalahnya seperti itu, biar nanti anak-anak kami yang mengurus," ujar
Hasan setelah mendengar penjelasan Baharudin.
"Ya, saya juga bisa membantu Pak Hasan," kata Ali.
"Betul apa kata Pak Hasan sama Pak Ali. Masa, kita-kita tidak ada yang mengurus
anak-anak. Nanti saya juga bisa ngajar, kok," sambut Royani. "Pokoknya kalau
masalah ibadah yang penting kita ikhlas. Semuanya akan jadi beres," tambah
Sulaeman.
"Yang jelas, uang kas masjid jangan sampai diutak-utik. Biar pemasukan dari
tromol infak atau yang lainnya untuk pembangunan masjid," tukas yang lain lagi,
"Saya yakin orang yang menyumbang pasti untuk kepentingan pembangunan masjid.
Bukan untuk honor guru ngaji."
Setelah berbagai pendapat dikemukakan. Akhirnya mereka sepakat untuk tetap
melanjutkan pengajian anak-anak di masjid Nurul Iman. Tenaga pengajarnya adalah
mereka yang telah menyatakan kesediaan menggantikan Tarmidzi dan
kawan-kawannya. Mereka itu adalah Hasan, Ali, Royani, Mukhlis, dan Topik.
Namun, lima orang itu ternyata tidak sanggup mengurusi anak-anak. Setelah
mereka pegang, pengajian anak-anak hanya bisa bertahan setengah bulan. Setelah
itu tidak ada yang mau dipasrahi mengurus pengajian anak-anak. Akibatnya,
anak-anak di kompleks perumahan itu tak ada lagi yang mengaji.
Setelah Tarmidzi berhenti mengajar ngaji, sejak itu pula masjid Nurul Iman tak
ada kegiatan pengajian anak-anak lagi. Karena menjadi pengajar ngaji tidak
semudah yang mereka bayangkan. Meskipun demikian, tidak ada orang yang berani
mendatangkan guru ngaji anak-anak dari luar penghuni kompleks. Mereka khawatir
dianggap mencari keuntungan di balik semua yang dilakukannya.
Masjid yang berdiri di tengah kompleks perumahan itu makin megah. Bangunan
tempat ibadah itu makin sempurna. Namun, tak ada rohnya. Sebab, tak ada
kegiatan apa pun di sana kecuali hanya untuk shalat lima waktu dan shalat
Jumat. Tiap shalat lima waktu pun hanya ada satu shaf yang berdiri di belakang
imam. Itu pun jarang sekali penuh satu baris.
Kendati demikian, segenap pengurus masjid merasa bangga. Lantaran, bangunan itu
lebih indah dan lebih megah dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya.
***
Mudah2an cerpen ini dapat memberikan appresiasi baru kaum muslimn kepada para
guru agama khususnya guru ngaji, trims
wassalam
Hernanda
0817.606.6781/7714954
Ngaji Yuk! Biar hati jadi lembut, pikiran tenang dan kreatif, dapet sahabat
yang baik, wawasan luas, iman bertambah.
Pengajian Alif ada di beberapa tempat:
Ged. BEJ, Ged. Sentral Senayan, Menara Bapindo, Ged. Arthaloka, Wisma BNI 46,
Ged. Arthaloka, Ged. Grha Simatupang
“Sekalipun aku dibunuh, kepercayaanku masih tetap pada Allah yang Esa" "Ini untukmu Ya Allah. Aku mengharungi kesengsaraan ini untuk mendapat kesenangan di akhirat kelak. Perjuangan ini sememangnya berat, selalu menderita dan sengsara kerana aku sedar untuk mendapat syurga. Aku terpaksa menagih ujian berat, sedangkan neraka itu dipagari oleh pelbagai kesenangan." kata-kata Zinnirah-srikandi Rom
~semoga mereka dirahmati Allah~
Wednesday, June 3, 2009
CERPEN19-GURU NGAJI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
off white x jordan 1
yeezy boost
moncler
adidas tubular
longchamp handbags
nike vapormax
air max 270
nmd
cheap jordans
curry 4
Post a Comment